
I. PENDAHULUAN
Artikel berjudul “Bos Pengusaha Bongkar Aksi Preman Ormas, Ekonomi RI Terancam” yang diterbitkan oleh CNBC Indonesia pada 3 Maret 2025 menyoroti kekhawatiran Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, terkait aksi oknum ormas yang meminta jatah proyek, melakukan pemalakan, dan gangguan terhadap pelaku usaha. Tindakan ini dianggap menciptakan ketidakpastian dalam dunia usaha dan berpotensi merusak daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi. Opini hukum ini bertujuan untuk memberikan opini hukum yang komprehensif, terstruktur, dan berbasis hukum, dengan fokus pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (diubah oleh UU No. 16 Tahun 2017) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
II. ANALISIS HUKUM
A. Kerangka Hukum Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 dan ditetapkan sebagai UU No. 16 Tahun 2017, mengatur pembentukan, kegiatan, dan pengawasan ormas.
Pasal 59 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sebagaimana diubah, mencakup larangan-larangan tertentu, termasuk:
(3a) Melakukan tindakan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.
(3c) Melakukan tindak kekerasan, mengganggu ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum atau sosial.
(3d) Melakukan kegiatan yang menjadi tugas penegak hukum.
- Sanksi untuk pelanggaran ini meliputi:
Sanksi administratif: peringatan tertulis, penangguhan kegiatan, pencabutan pendaftaran, atau status badan hukum.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. - Prosedur dalam pemberian sanksi administratif, diatur dalam Pasal 62, yang berbunyi :
“(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat l2l, Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.” - Sanksi pidana:
Untuk tindakan kekerasan, gangguan ketertiban umum, atau kegiatan penegak hukum dikenakan pidana penjara 6 bulan hingga 1 tahun. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 82 A UU No 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi,
“(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.”
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata, dengan dasar hukum Pasal 101 KUHAP menyebutkan ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang tidak diatur lain. Artinya pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan terpidana dapat mengajukan gugatan, bahkan setelah terdakwa diputuskan bersalah.

- Sedangkan untuk permohonan ganti rugi, dasar hukumnya adalah Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi,
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”
B. Kerangka Hukum Pidana Umum
– Berdasarkan KUHP, tindakan pemalakan oleh oknum ormas dapat dikategorikan sebagai pemerasan, yang diatur dalam:
Pasal 368 KUHP, yang berbunyi : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
- Pasal 369 KUHP, yang berbunyi : “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Selain itu, jika tindakan ini melibatkan kekerasan atau gangguan terhadap ketertiban umum, dapat juga dikenakan pasal-pasal lain terkait kekerasan atau gangguan keamanan.
C. Penerapan terhadap Kasus
– Tindakan ormas yang meminta jatah proyek, pungutan liar, dan uang keamanan melanggar KUHP, terutama Pasal 368, karena merupakan upaya memaksa pelaku usaha untuk menyerahkan harta benda dengan ancaman atau kekerasan.
Jika tindakan ini dilakukan secara terorganisir dan mengganggu ketertiban umum, seperti menciptakan ketidakpastian dalam dunia usaha, dapat juga dianggap melanggar Pasal 59(3)c UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang mengatur gangguan ketertiban umum, dengan sanksi pidana 6 bulan hingga 1 tahun penjara.
Namun, perlu diperhatikan bahwa definisi “gangguan ketertiban umum” mungkin tidak selalu mencakup pemalakan secara langsung, sehingga penegakan hukum mungkin lebih bergantung pada KUHP. Jika ormas terdaftar dan tindakan ini dilakukan oleh anggota atau pengurus, sanksi administratif seperti pencabutan status badan hukum juga dapat diterapkan.
III. DAMPAK EKONOMI DAN REKOMENDASI
Tindakan ini, seperti yang disoroti oleh Apindo, dapat meningkatkan biaya usaha, menurunkan kepercayaan investor, dan mengurangi daya saing Indonesia. Untuk mengatasi ini, disarankan:
1. Pemerintah memperkuat pengawasan ormas melalui mekanisme pendaftaran dan pelaporan.
2. Penegakan hukum tegas terhadap pelaku, baik melalui KUHP maupun UU ormas.
3. Meningkatkan kesadaran publik dan pelaku usaha untuk melaporkan tindakan semacam ini.
4. Pertimbangan untuk merevisi UU ormas agar mencakup lebih eksplisit tindakan ekonomi seperti pemalakan.
IV. KESIMPULAN
Tindakan ormas yang meminta jatah proyek dan melakukan pemalakan merupakan pelanggaran hukum yang dapat ditangani melalui KUHP (Pasal 368 dan 369) dan UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, terutama jika dianggap mengganggu ketertiban umum. Pendekatan yang komprehensif melibatkan penegakan hukum, pengawasan ormas, dan edukasi publik untuk melindungi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.