Opini Hukum Analisis Gugatan Praperadilan LP3HI (Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia) Terhadap KPK Terkait Laporan Ganjar Pranowo

  • Updated
  • Posted in Opini Hukum
  • 6 mins read

I. Latar Belakang dan Fakta Hukum
Kasus ini bermula dari laporan Indonesia Police Watch (IPW) pada 5 Maret 2024 kepada KPK, yang mengindikasikan dugaan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan/atau suap dalam pemberian kredit Bank Jawa Tengah (Bank Jateng) pada periode 2014-2023. Laporan tersebut menyeret beberapa pihak, termasuk mantan Direktur Bank Jateng Supriyatno, Direktur Asuransi Askrida Hendro, Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah Alwin Basri, dan Ganjar Pranowo melalui Widadi Kasno, dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 100 miliar. Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) , yang bukan pelapor asli, menggugat KPK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara 11/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL, dengan tuduhan KPK telah menghentikan penyidikan secara materiil atau diam-diam secara tidak sah. Sidang pembacaan putusan dilaksanakan pada 3 Maret 2025 oleh hakim tunggal Lucy Ermawati.

ganjar pranowo

II. Analisis Hukum
A. Legal Standing LP3HI sebagai Pemohon Praperadilan
Analisa Argumen LP3HI
LP3HI mengklaim memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak ketiga yang mewakili kepentingan masyarakat untuk mengawasi penegakan hukum. Menurut Kurniawan Adi Nugroho, ketidakjelasan penyidikan oleh KPK sejak laporan IPW pada 5 Maret 2024 menunjukkan penghentian penyidikan yang tidak sah, yang menjadi dasar gugatan.

Analisa Tanggapan KPK dan Dasar Hukum
– KPK melalui Biro Hukum menyatakan bahwa LP3HI tidak memiliki legal standing karena bukan pelapor perkara.
– Dasar Hukumnya legal standing adalah ada di Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”
– Menurut KPK, LP3HI tidak termasuk dalam kategori ini.
– Bahwa praperadilan hanya dapat diajukan oleh pihak yang memiliki kepentingan langsung, yaitu pelapor atau tersangka, bukan pihak ketiga tanpa hubungan langsung dengan perkara. Oleh karena itu, KPK berargumen bahwa LP3HI tidak berwenang mengajukan gugatan ini.

Opini Hukum
Berdasarkan ketentuan KUHAP dan putusan MK, legal standing LP3HI tampak lemah karena tidak memiliki hubungan langsung sebagai pelapor atau tersangka. Namun, jika LP3HI dapat membuktikan bahwa mereka bertindak atas nama masyarakat dengan dasar kepentingan publik yang signifikan (misalnya, kerugian negara Rp 100 miliar), ada ruang untuk berargumen berdasarkan prinsip akses keadilan. Namun, tanpa bukti konkret, argumen ini sulit diterima di bawah kerangka hukum saat ini.

B. Objek Gugatan: Penghentian Penyidikan Materiil
Analisa Argumen LP3HI

LP3HI menganggap KPK telah menghentikan penyidikan secara materiil atau diam-diam karena tidak ada kejelasan proses hukum sejak laporan IPW pada 5 Maret 2024. Mereka meminta hakim memerintahkan KPK untuk menyelesaikan penyidikan dan menetapkan tersangka.

Analisa Tanggapan KPK dan Dasar Hukum
– KPK membantah adanya penghentian penyidikan dan menyatakan bahwa penyidikan bergantung pada bukti permulaan yang cukup. Menurut Pasal 1 ayat 14 KUHAP,
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;,”
– Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), khususnya Pasal 11 yang berbunyi,
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
– KPK juga menyatakan bahwa KPK melakukan penyidikan berdasarkan bukti yang cukup, bukan perintah hakim.
– KPK juga merujuk pada penghentian penyidikan yang dilakukan secara formil (misalnya, dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/SP3), bukan materiil. Karena tidak ada SP3 dalam kasus ini, KPK berargumen bahwa gugatan LP3HI di luar wewenang praperadilan. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 40 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :
“(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.”

ganjar pranowo

Opini Hukum
Konsep “penghentian penyidikan materiil atau diam-diam” tidak diakui dalam KUHAP atau UU KPK. Penyidikan adalah kewenangan penyidik (Pasal 7 KUHAP), dan hakim tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi proses penyidikan. Jika KPK memang belum menemukan bukti cukup, maka tidak ada tindakan tidak dapat dianggap sebagai penghentian penyidikan yang melanggar hukum. Namun, jika terbukti KPK sengaja mengabaikan laporan tanpa alasan yang sah, ini dapat menjadi pelanggaran administratif. Ini juga bukan ranah praperadilan.

C. Putusan Hakim dan Implikasi Hukum
– Analisa Putusan PN Jakarta Selatan
Berdasarkan informasi yang tersedia (sidang pada 3 Maret 2025), hakim Lucy Ermawati tampaknya mengabulkan eksepsi KPK dan menolak gugatan LP3HI. Pertimbangan ini kemungkinan didasarkan pada ketidakcukupan legal standing LP3HI dan ketiadaan dasar hukum untuk mengintervensi penyidikan materiil.
– Dasar Hukum Putusan
Pasal 1 ayat 10 KUHAP KUHAP: Membatasi praperadilan pada pihak yang memiliki kepentingan langsung.
Pasal 7 KUHAP: Penyidikan adalah kewenangan penyidik, bukan hakim.
– Opini Hukum
Putusan ini konsisten dengan kerangka hukum positif Indonesia. Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan mengenai pengawasan publik terhadap lembaga penegak hukum seperti KPK. Jika KPK memang mengabaikan laporan tanpa alasan yang jelas, masyarakat dapat mengajukan pengawasan melalui mekanisme lain, seperti laporan ke DPR atau Ombudsman, bukan praperadilan.

III. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan

– LP3HI tidak memiliki legal standing yang cukup kuat untuk mengajukan praperadilan karena bukan pelapor atau tersangka, sesuai Pasal 80 KUHAP
– Gugatan terkait “penghentian penyidikan materiil” tidak memiliki dasar hukum karena KUHAP dan UU KPK hanya mengakui penghentian secara formil (SP3), dan penyidikan adalah ranah penyidik (Pasal 7 KUHAP).
– Putusan PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan LP3HI pada 3 Maret 2025 tampak sesuai dengan hukum positif, meskipun membuka debat mengenai transparansi KPK dalam menangani laporan.

B. Rekomendasi
– Bagi Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI):
– Pertimbangkan mekanisme alternatif, seperti pengaduan ke DPR berdasarkan Ketentuan Pasal 72 huruf g dan Pasal 81 huruf j Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 terakhir dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 jo Pasal 7 huruf g serta Pasal 12 huruf j Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2018 bahwa DPR bertugas menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
– Bisa dilakukan aduan juga ke pihak Ombudsman berdasar pada Pasal 7 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.

– Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
Tingkatkan transparansi dengan memberikan pembaruan status penyidikan kepada pelapor (IPW) untuk menghindari tuduhan pembiaran, sesuai Pasal 5 UU UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mewajibkan keterbukaan informasi dalam menjalankan tugasnya, dengan bunyi :
“Pasal 5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum;
e. proporsionalitas; dan
f. penghormatan terhadap hak asasi manusia.”

– Bagi Pihak yang Berkepentingan:
Jika terdapat bukti baru yang kuat dengan legal standing, maka pihak tersebut dapat mengajukan gugatan praperadilan.