Mengapa Aset Kripto Tidak Boleh Dijadikan Alat Pembayaran?

Pengertian
Aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum, tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia karena undang-undang hanya mengizinkan rupiah untuk transaksi pembayaran. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mencegah potensi penyalahgunaan, seperti pencucian uang. Sebaliknya, aset kripto diizinkan untuk tujuan investasi, diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, memberikan peluang bagi investor untuk mendapatkan keuntungan tanpa mengganggu sistem keuangan resmi.

kripto sebagai alat pembayaran

Dasar Hukum
Dasar hukum utama adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.” Sementara itu, aset kripto dianggap sebagai komoditas menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto.

Analisa Hukum

Pertanyaan mengenai mengapa aset kripto tidak boleh dijadikan alat pembayaran, tetapi hanya boleh digunakan untuk investasi, menjadi relevan dalam konteks perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan alasan di balik pembatasan tersebut, beserta dasar hukumnya, dengan mempertimbangkan kerangka regulasi nasional dan implikasinya terhadap stabilitas moneter serta inovasi keuangan.

Proses analisis dimulai dengan memahami status hukum aset kripto di Indonesia. Berdasarkan pengetahuan awal, aset kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi diizinkan untuk tujuan investasi. Untuk memverifikasi, pertama-tama dilihat undang-undang yang mengatur mata uang, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 1 ayat (1) menyatakan, “Mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.” Pasal 2 ayat (1) menegaskan, “Rupiah adalah alat pembayaran yang sah satu-satunya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa hanya Rupiah yang dapat digunakan untuk transaksi pembayaran, sehingga aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum, tidak dapat digunakan untuk tujuan tersebut.

Namun, pertanyaan mengapa hanya boleh untuk investasi membawa kita pada regulasi lain, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Pasal 1 angka 2 UU ini mendefinisikan komoditas sebagai “semua barang, jasa, hak, dan kepentingan lainnya serta setiap derivatif dari komoditas yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya.” Berdasarkan ini, Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) dalam Pasal 1 mengakui aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Di Pasal 2-nya juga dijelaskan bahwa aset kripto berada di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Peraturan ini, yang diikuti oleh Peraturan Bappebti Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan BAPPEBTI No 8 tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagagnan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, mengatur tata kelola perdagangan aset kripto. Pasal 1 ayat (7) Peraturan Bappebti 13/2022 mendefinisikan aset kripto sebagai “komoditas tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.” Dengan demikian, kripto diizinkan untuk tujuan investasi, bukan pembayaran.

aset kripto untuk alat pembayaran

Alasan di balik pembatasan ini tampaknya berkaitan dengan stabilitas moneter dan kepastian hukum. Dengan hanya mengizinkan Rupiah sebagai alat pembayaran, pemerintah menjaga kontrol atas sistem keuangan nasional, mencegah risiko seperti volatilitas harga kripto yang dapat mengganggu ekonomi. Selain itu, larangan ini juga bertujuan mencegah potensi penyalahgunaan, seperti pencucian uang atau pendanaan terorisme, Bappebti juga mewajibkan pedagang fisik aset kripto menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) dan melaporkan transaksi mencurigakan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menunjukkan fokus pada pengawasan.

Namun, ada aspek yang menarik dan tidak langsung terlihat. Meskipun larangan penggunaan kripto untuk pembayaran diatur, transaksi peer-to-peer (antara individu) mungkin masih terjadi di luar sistem perbankan, meskipun tidak dilindungi hukum. Hal ini menimbulkan tantangan dalam penegakan hukum, terutama karena sifat kripto yang terdesentralisasi. Selain itu, ada perdebatan mengenai inovasi keuangan. Beberapa pihak berargumen bahwa larangan ini membatasi potensi kripto untuk menggerakkan ekonomi digital, terutama di tengah tren global di mana negara-negara seperti El Salvador mulai mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran. Di Indonesia, Peraturan Menterian Keuangan Nomor 81 tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan mengeluarkan regulasi pajak untuk transaksi kripto, memperlakukannya sebagai aset yang dikenakan pajak, yang menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap investasi di aset kripto.

Tabel berikut merangkum dasar hukum dan implikasinya:

Dasar HukumIsiImplikasi Hukum
UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata UangHanya Rupiah yang sah sebagai alat pembayaran (Pasal 2)Kripto tidak boleh digunakan untuk pembayaran
Peraturan Menteri Perdagangan No. 99/2018Mengatur perdagangan kripto di bursa berjangkaDukungan hukum untuk investasi kripto
Peraturan Bappebti Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan BAPPEBTI No 8 tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka,mengatur tata kelola perdagangan aset kripto.Dukungan hukum untuk investasi kripto
Peraturan Menterian Keuangan Nomor 81 tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakanmengeluarkan regulasi pajak untuk transaksi kriptopengakuan pemerintah terhadap investasi di aset kripto


Analisis ini menunjukkan bahwa alasan utama larangan penggunaan kripto untuk pembayaran adalah untuk menjaga stabilitas moneter dan kepastian hukum, sementara izin untuk investasi bertujuan mendukung inovasi ekonomi digital. Namun, tantangan seperti transaksi peer-to-peer yang tidak diatur dan debat mengenai inovasi menunjukkan perlunya regulasi yang lebih komprehensif di masa depan.